Kamis, 12 Februari 2009

Refleksi Sejarah Pendidikan Nasional

**Mengulang Fakta Sejarah By adminpadek
Minggu, 14-Agustus-2005, 09:43:43


Ketika penerimaan mahasiswa baru berdasarkan latar belakang
ekonomis mereka sebagai panduan utama, maka hari ini kita hanya akan mengulang
fakta sejarah tentang segregasi sosial, antara anggota masyarakat yang berpunya
dan anggota masyarakat yang tidak berpunya.


Pemisahan tersebut sesungguhnya secara langsung atau tidak langsung
mengarah pada era penjajahan kolonial Belanda yang memisahkan masyarakat
bumiputra kepada dua kelompok; (1) masyarakat priyai atau ningrat yang memiliki
kekuasaan dan kekayaan. (2) Kaum rakyat jelata yang belum jelas masa depannya,
karena mereka dipandang sebagai penonton pembangunan pendidikan dalam arti
sempit, dan bukan penikmat pembangunan negara bangsa (nation state) dalam arti
luas.

Terlepas dari persoalan kaum ningrat atau priyai tadi menerima warisan
sejarah dari leluhur mereka yang juga ningrat atau priyai, atau justru
peringkat social yang terpandang dimata masyarakat tersebut diperoleh melalui
kedekatan pribadi atau kelompok orang dengan penguasa kolonial Belanda. Dengan
bahasa yang lebih sederhana kita dapat mengistilahkan sebagaian dari kaum
ningrat atau priyai tersebut sebagai "boneka" atau antek-antek penjajah. Namun
yang pasti mereka memperoleh pendidikan yang baik dan setara dengan anak-anak
Belnada. Oleh karenanya akses pendidikan lebih berorientasi pada laum berpunya
yang memiliki kuasa dan kekayaan. Sementara kaum rakyat jelata masih perlu
merayap atau bahkan asyik menunggu keajaiban untuk memperoleh pendidikan yang
layak.
**Mengulang Fakta Sejarah
By adminpadek
Minggu, 14-Agustus-2005, 09:43:43


Ketika penerimaan mahasiswa baru berdasarkan latar belakang
ekonomis mereka sebagai panduan utama, maka hari ini kita hanya akan mengulang
fakta sejarah tentang segregasi sosial, antara anggota masyarakat yang berpunya
dan anggota masyarakat yang tidak berpunya.


Pemisahan tersebut sesungguhnya secara langsung atau tidak langsung
mengarah pada era penjajahan kolonial Belanda yang memisahkan masyarakat
bumiputra kepada dua kelompok; (1) masyarakat priyai atau ningrat yang memiliki
kekuasaan dan kekayaan. (2) Kaum rakyat jelata yang belum jelas masa depannya,
karena mereka dipandang sebagai penonton pembangunan pendidikan dalam arti
sempit, dan bukan penikmat pembangunan negara bangsa (nation state) dalam arti
luas.

Terlepas dari persoalan kaum ningrat atau priyai tadi menerima warisan
sejarah dari leluhur mereka yang juga ningrat atau priyai, atau justru
peringkat social yang terpandang dimata masyarakat tersebut diperoleh melalui
kedekatan pribadi atau kelompok orang dengan penguasa kolonial Belanda. Dengan
bahasa yang lebih sederhana kita dapat mengistilahkan sebagaian dari kaum
ningrat atau priyai tersebut sebagai "boneka" atau antek-antek penjajah. Namun
yang pasti mereka memperoleh pendidikan yang baik dan setara dengan anak-anak
Belnada. Oleh karenanya akses pendidikan lebih berorientasi pada laum berpunya
yang memiliki kuasa dan kekayaan. Sementara kaum rakyat jelata masih perlu
merayap atau bahkan asyik menunggu keajaiban untuk memperoleh pendidikan yang
layak.

Persoalan yang kemudian menggelitik nurani kita adalah apakah kemerdekaan
yang diperoleh negara bangsa ini tidak mampu memberikan akses yang sama kepada
putra-putri terbaik bangsa untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya?
Ataukah penyetaraan kesempatan dalam memanfaatkan akses pendidikan tanpa
melihat suku, ras, agama dan kelas sosial hanya merupakan impian semu yang
tidak ingin direalisasikan? Akhirnya menjadi sebuah renungan kepada kita semua
bahwa, membangun sebuah peradaban selalunya dihubungkan dengan pendidikan.
Kemudian apakah kita akan meruntuhkan peradaban melalui proses pemiskinan ilmu
pengetahuan yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan itu
sendiri atau kita sedang merekayasa sebuah proses pembodohan masyarakat secara
sistematis.

Membangun BHMN Mandiri

Berangkat dari fakta miris di atas maka, tantangan perguruan tinggi yang
telah BHMN tersebut adalah bagaimana membangun sebuah institusi perguruan
tinggi yang sehat dan mandiri? Kemudian untuk menjawab tantangan tadi terdapat
beberapa alternatif strategis kebijakan yang mungkin ditempuh sebagai langkah
pemberdayaan BHMN : (1) Menutup Prodi (program studi atau jurusan) yang
dianggap tidak lagi relevan dengan perubahan dan perkembangan zaman. Kemudian
sebaliknya membuka prodi baru yang sesuai dengan tuntutan era perubahan, karena
sebagai lembaga pendidikan tentunya institusi perguruan tinggi ini diharapkan
mampu melahirkan tenaga kerja yang terampil dan tanggap menghadapi perubahan.

Bukan malah melahirkan sarjana pengangguran yang justru akan membebani
masyarakat. (2) Mengembangkan penelitian secara optimal, melalui R & D
(Research and Development) maka, diharapkan akan lahir temuan yang berguna bagi
dunia pendidikan pada satu sisi, pada sisi lain akan menghasilan uang dari hak
cipta intelektual yang dihasilan. Kemudian untuk menekan biaya besarnya
pendanaan dari riset tersebut maka, pihak perguruan tinggi dapat merangkul
dunia usaha atau perusahaan nasional dan internasional.. (3) Memberikan peluang
usaha kepada pihak luar (pengusaha) dalam pengelolaan berbagai unit usaha
proaktif di kampus, seperti ; kafatria, warung internet (warnet), warung pos
dan telekomunikasi (warpostel) dan sebaginya.

Apabila memungkinkan diadakan tander bagi kelompok usaha yang ingin
berpartisipasi dalam usaha perekonomian disekitar kampus. Melalui dana tadi
diharapkan akan diperoleh sedikit banyak dana segar bagi mmebantu proses
penyelenggaran pendidikan. (4) Pengurangan biaya tetap dalam penyenggaraan
pendidikan (Misalnya: biaya listrik). Sebagai contoh : terdapat tiga lembaga
BHMN yang menjadi penunggak utama PLN dalam sektor pendidikan pada tahun
1993/1994. adapun ketiga BHMN itu adalah Universitas Indonesia, Institut
Pertanian Bogor dan Institut Teknologi Bandung.

Di mana besar jumlah biaya tunggakan PLN pada Universitas Indonesia dalam
kurun waktu tersebut adalah sebesar dua trilliun lebih. Sementara tunggakan PLN
dari Institut Teknologi Bandung sebanyak satu trilliun lebih. sedangkan biaya
tunggakan PLN dari Institut Pertanian Bogor sebesar tujuh ratus tiga belas
miliar lebih (Suheriyanto, 2004). Ini menunjukkan besarnya beban pemakaian
listrik yang perlu ditanggung oleh masing-masing perguruan tinggi yang telah
BHMN tersebut.

Terdapat sebuah strategi penghematan energi yang kemudian lebih dikenal
dengan istilah Building Automatic System (BAS). Sistem ini telah dicoba
dijalankan pada beberapa gedung perkantoran dilingkup Departemen Pendidikan
Nasional. Hasil yang diperoleh cukup spektakuler, di mana pada Gedung
Sekretariat Jenderal yang menggunakan sistem BAS ini, telah mampu mereduksi
biaya rekening listrik sebanyak dua puluh sembilan persen (29%) atau sebanyak
tujuh belas juta rupiah lebih.

Sementara total biaya listrik di Gedung Sekretariat Jenderal itu, dalam
kurun satu tahun sebanyak lima puluh delapan juta lebih. Sedangkan pada Gedung
Direktorat Perguruan Tinggi (DIKTI) yang juga menggunakan sistem BAS tadi, maka
hasil yang diperoleh menunjukkan angka penurunan biaya rekening listrik
sebanyak tujuh belas persen (17%) atau satu setengah juta rupiah per bulan
(Departemen Pendidikan Nasional, 2003). Ini menggambarkan pentingnya sebuah
langkah penghematan energi dari pihak pengelola perguruan tinggi negeri yang
BHMN, agar lebihan dana dari biaya pengehematan energi itu dapat digunakan bagi
proses penyelenggaraan pendidikan.

Pesan Moral UU Sisdiknas

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pada Bab IV tentang hak dan kewajiban warga
negara, orang tua masyarakat dan pemerintah; Pasal 5 ayat (1) menyatakan setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Berangkat dari amanat Undang-Undang Sisdiknas tersebut di atas, kita memperoleh
gambaran yang jelas bahwa setiap warga negara seharusnya memiliki hak yang sama
dalam memperoleh pendidikan yang bermutu, mulai dari tingkat pendidikan yang
terrendah sampai dengan yang tertinggi sekalipun. Oleh karenanya kehadiran
perguruan tinggi yang berbadan hukum (BHMN) sepatutnya tidak menerapkan
"inequalibrium" atau ketimpangan dari kesempatan dalam penerimaan mahasiswa.

Di mana hanya menerima calon mahasiswa yang cerdas pada satu pihak,
kemudian pada pihak lain mereka juga harus-lah berasal dari keluarga kaya.
Disamping itu apabila calon mahasiswa yang pintar tapi miskin tersebut
beruntung dapat diterima maka, jumlah mereka sangatlah terbatas, bahkan nyaris
nihil. Tragis sungguh nasib para calon mahasiswa yang pandai namun menereka
berasal dari keluarga miskin, karena mereka hanya-lah kelompok penggembira yang
diterima pada perguruan tinggi yang prestisius tersebut.

Kesimpulan akhir yang dapat kita garisbawahi disini adalah bahwa
kehadiran sebuah perguruan tinggi yang mandiri dengan atribut BHMN, selayaknya
tidak mengorbankan pengguna jasa pendidikan sebagai "mesin uang" yang
terus-menerus dikeruk dengan atas nama ketiadaan subsidi pemerintah terhadap
penyelenggaraan pendidikan pada perguruan tinggi tersebut.

Kemudian pemerintah sepatutnya semakin selektif dalam menentukan
institusi pendidikan tinggi yang layak dijadikan BHMN, mengingat kini semakin
banyak perguruan tinggi yang berlomba-lomba untuk mencapai tahap tersebut.
Namun perguruan tinggi itu tidak memiliki kapabilitas yang memadai untuk sampai
ketahap tersebut. Akhir sekali kemajuan pendidikan idealnya tidak mematikan
nurani untuk bertindak lebih bijaksana.


*Penulis adalah CEO LSM World Care Education In West Sumatera.

FROM:http://www.mail-archive.com/proletar@yahoogroups.com/msg11598.html


Read More......